Th. van den End, Catatan autobiografis

Aku berasal dari keluarga Protestan, yang sudah selama empat abad tinggal di wilayah Woerden dan Gouda, dua kota relatif kecil di negeri Belanda bagian Barat. Kebanyakan moyangku pengusaha kecil; pada abad ke-18, ketika ekonomi negeri Belanda sedang mundur, ada yang menjadi buruh di pabrik batu bata. Tidak ada yang menikmati pendidikan di atas tingkat SD. Baru ayahku yang menempuh sekolah menengah, kemudian universitas, fakultas teologi; ia menjadi pendeta jemaat dalam lingkungan Gereja Hervormd (1940-1974).

Maka aku lahir di rumah pendeta. Rumah pendeta memiliki satu keuntungan besar: ada persediaan buku. Ayah saya tertarik pada ilmu sejarah, sehingga di perpustakaannya terdapat beberapa karya kecil besar di bidang itu, yang saya baca dengan asyik. Setelah menamatkan gymnasium (sekolah dengan mata pelajaran a.l. Yunani dan Latin), kupilih memasuki fakultas teologi, sama seperti ayah saya.

Akan tetapi, aku tidak bercita-cita menjadi pendeta jemaat; sejak masa kanak-kanak aku ingin berangkat ke Indonesia dan menjadi pengajar di sana. Agaknya yang membangkitkan cita-cita itu dalam diriku adalah guru kepala SD yang kukunjungi: ia menjadi ketua cabang lembaga pI Gereformeerde Zendingsbond di kota kami, dan menyuruh saya – yang pada waktu itu baru berumur 7-8 tahun–  melakukan surat-menyurat dengan salah seorang anak SD berbahasa Belanda di Sulawesi Selatan (medan kerja lembaga tsb.). Maka bidang studi saya agak luas: selain teologi (dengan perhatian utama: sejarah gereja) saya masuk dan menamatkan Fakultas Sastra, jurusan sejarah, dan jurusan Bahasa Italia. Selama dua tahun saya studi di Fakultas Teologi Protestan di Roma; hasilnya disertasi mengenai karya penginjilah Prtestan di Italia pada paruhan kedua abad ke-19.

Saat meraih gelar doktor teologi aku sudah menjadi guru sejarah di salah satu Sekolah Menengah Kristen di Belanda. Aku pilih menjadi guru, sebab mau cari pengalaman buat jabatan sebagai dosen salah satu lembaga pendidikan teologi di Indonesia kelak. Tidak sampai setengah tahun sudah mulai kerja, GZB sudah meminta agar saya menjadi guru sejarah gereja di STT Jakarta, menggantikan dr. I.H. Enklaar. Sebenarnya, Enklaar sudah pulang ke Belanda pada tahun 1962, tetapi Oegstgeest tidak berhasil menemukan seorang pengganti, lalu minta GZB apakah mereka mempunyai calon yang berkualifikasi. Disenbabkan satu dan lain hal, pada bulan Juni 1970 baru saya dapat berangkat ke Jakarta. Selama emoat tahun saya hanya mengajar mata pelajaran Sejarah Gereja Umum; yang bertanggung jawab atas Sejarah Gereja Indonesia (SGI) ialah seorang rekan senior, dr. W.B. Sidjabat. Tetapi, pada bulan Agustus 1974 pimpinan STT meminta saya agar, pada hari esoknya, saya mengampu kuliah SGI. Padahal, pengetahuan saya tentang bidang tersebut terbatas saja. Yang lebih parah, di bulan-bulan pertama saya menjadi sadar bahwa 99,9% bahan SGI yang tersedia tertulis dalam bahasa Belanda dan Jerman. Padahal, mahasiswa saat itu justru termasuk generasi pertama yang sudah tidak lagi mahir berbahasa Belanda, apalagi Jerman. Yang berbahasa Indonesia, selain satu-dua buku cetak yang kecil, hanya sebuah buku berisi tinjauan umum, yang mengandung sejumlah besar kesalahan, dan yang pada asanya bukan Sejarah Gereja Indonesia, melainkan Sekarah Pekabaran Indjil di Indonesia. Bagaimana menyediakan bahan bagi mahasiswa yang disuruh menulis paper atau skripsi? Dari mana buku yang dapat dijadikan bahan ujian? Saya mulai menerjemahkan dokumen, buku, tapi pekerjaan itu memakan waktu banyak dan baru membawa hasil sesudah beberapa tahun.

nl_NLDutch